Minggu, 30 Juni 2013


Sebuah Toleransi Beragama 
                

                Semua menyadari bahwa negara kita sangat beragam, ber-bhineka tunggal ika, baik dalam aspek suku, ras, agama. Setidaknya bangsa Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa. Sebagai misal di Provinsi Papua saja terdiri dari 255 suku dengan bahasa yang berbeda.. Di negara kita terdapat 6 (enam) agama yang diakui negara, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Banyak etnis seperti Melayu, China, Arab, dsb. Perbedaan ini adalah keragaman, yaitu kekayaan bangsa yang penuh dengan nuansa dan variasi. Perbedaan ini semakin banyak apabila dilihat dari sisi yang lebih luas, dalam hal golongan, partai politik, dan organisasi. Sehingga di Indonesia sesungguhnya terdapat berbagai etnis dan suku, terdapat banyak agama, terdapat banyak pengikut partai politik dan terdapat banyak kelompok organisasi keagamaan di Indonesia. Maka sesungguhnya keragaman bangsa kita ini bagai mozaik sebuah lukisan. Adalah keniscayaan atau  hal yang pasti ada. Maka harus diterima apa adanya.
Disinilah diperlukan toleransi. Menurut kamus bahasa indonesia, to·le·ran  adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi adalah sikap atau kesediaan hati untuk menerima perbedaan dalam bentuk tidak menjadikan alasan untuk bersikap bermusuhan terhadap orang atau kelompok orang  yang berbeda. Sikap ini menimbulkan kondisi lapang dada, yang dalam bahasa yang tepat adalah “untuk kamu amalan kamu untuk aku amalan aku”.
Lawan dari toleran adalah ekstrimitas. Ekstrim adalah tindakan berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu. Ekstrimitas biasanya cenderung tidak mau menerima perbedaan. Suatu keinginan yang dipaksakan kepada semua entitas untuk menjadi satu warna. Sikap ini dikritik oleh agama. Dalam berbagai literatur agama, dijelaskan bahwa nilai-nilai agama pemahaman seperti ini tidak dibenarkan.
Menurut KH Husein Muhammad (2011), pluralisme merupakan keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Konsekwensi dari kenyataan ini adalah keniscayaan bahwa umat manusia untuk bersikap penuh toleran atau tasamuh terhadap orang lain yang berbeda keyakinan atau tradisi dengan kita. Apapun perbedaan tersebut. Penolakan terhadap pluralisme dapat dipandang sebagai penolakan terhadap realitas dan sekaligus kehendak Tuhan yang Mahabijaksana. Dalam Quran Al Rum (30):22 dinyatakan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”
Sikap menerima pluralis di dasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada kelebihan manusia satu di atas manusia lainnya. Satu-satunya ukuran yang menjadi pembeda keunggulan manusia satu dengan yang lain adalah kualitas taqwanya.  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al Hujarat (49):13). Terkait dengan perbedaan warna kulit ini, Nabi Muhammad menegaskan bahwa orang Arab tidak lebih baik dan lebih unggul daripada orang non-Arab. Orang kulit putih tidak lebih utama dibandingkan orang kulit hitam. Sesungguhnya kebaikan, keutamaan dan keunggulan seseorang semata-mata diukur karena kualitas ketaqwaannya kepada Allah. Allah tidak menilai keistimewaan seseorang dari aspek fisik ataupun wajah seseorang, melainkan dari hati dan kerjanya. Konteks pengertian taqwa di sini memiliki makna yang luas. Maknanya mencakup semua kebaikan, tidak terbatas pada pengabdian atau ibadah ritual keagamaan kepada Tuhan, tetapi juga tindakan-tindakan yang baik, amal sholeh dalam rangka kemanusiaan.