Sebuah Toleransi Beragama
Semua menyadari bahwa negara
kita sangat beragam, ber-bhineka tunggal ika, baik dalam aspek suku, ras,
agama. Setidaknya bangsa Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa. Sebagai misal di
Provinsi Papua saja terdiri dari 255 suku dengan bahasa yang berbeda.. Di
negara kita terdapat 6 (enam) agama yang diakui negara, Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Banyak etnis seperti Melayu,
China, Arab, dsb. Perbedaan ini adalah keragaman, yaitu kekayaan bangsa yang
penuh dengan nuansa dan variasi. Perbedaan ini semakin banyak apabila dilihat
dari sisi yang lebih luas, dalam hal golongan, partai politik, dan organisasi.
Sehingga di Indonesia sesungguhnya terdapat berbagai etnis dan suku, terdapat
banyak agama, terdapat banyak pengikut partai politik dan terdapat banyak
kelompok organisasi keagamaan di Indonesia. Maka sesungguhnya keragaman bangsa
kita ini bagai mozaik sebuah lukisan. Adalah keniscayaan atau hal yang
pasti ada. Maka harus diterima apa adanya.
Disinilah
diperlukan toleransi. Menurut kamus bahasa indonesia,
to·le·ran adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri. Toleransi adalah sikap atau kesediaan hati untuk menerima perbedaan
dalam bentuk tidak menjadikan alasan untuk bersikap bermusuhan terhadap orang
atau kelompok orang yang berbeda. Sikap ini menimbulkan kondisi lapang
dada, yang dalam bahasa yang tepat adalah “untuk kamu amalan kamu untuk aku
amalan aku”.
Lawan dari
toleran adalah ekstrimitas. Ekstrim adalah tindakan berlebih-lebihan dalam
melakukan sesuatu. Ekstrimitas biasanya cenderung tidak mau menerima perbedaan.
Suatu keinginan yang dipaksakan kepada semua entitas untuk menjadi satu warna.
Sikap ini dikritik oleh agama. Dalam berbagai literatur agama, dijelaskan bahwa
nilai-nilai agama pemahaman seperti ini tidak dibenarkan.
Menurut KH
Husein Muhammad (2011), pluralisme merupakan keniscayaan yang tidak dapat
dipungkiri. Konsekwensi dari kenyataan ini adalah keniscayaan bahwa umat
manusia untuk bersikap penuh toleran atau tasamuh terhadap orang lain yang
berbeda keyakinan atau tradisi dengan kita. Apapun perbedaan tersebut. Penolakan
terhadap pluralisme dapat dipandang sebagai penolakan terhadap realitas dan
sekaligus kehendak Tuhan yang Mahabijaksana. Dalam Quran Al Rum (30):22
dinyatakan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”
Sikap
menerima pluralis di dasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada kelebihan manusia
satu di atas manusia lainnya. Satu-satunya ukuran yang menjadi pembeda
keunggulan manusia satu dengan yang lain adalah kualitas taqwanya. “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al Hujarat (49):13). Terkait dengan
perbedaan warna kulit ini, Nabi Muhammad menegaskan bahwa orang Arab tidak
lebih baik dan lebih unggul daripada orang non-Arab. Orang kulit putih tidak
lebih utama dibandingkan orang kulit hitam. Sesungguhnya kebaikan, keutamaan
dan keunggulan seseorang semata-mata diukur karena kualitas ketaqwaannya kepada
Allah. Allah tidak menilai keistimewaan seseorang dari aspek fisik ataupun
wajah seseorang, melainkan dari hati dan kerjanya. Konteks pengertian taqwa di
sini memiliki makna yang luas. Maknanya mencakup semua kebaikan, tidak terbatas
pada pengabdian atau ibadah ritual keagamaan kepada Tuhan, tetapi juga
tindakan-tindakan yang baik, amal sholeh dalam rangka kemanusiaan.